Rabu, 01 April 2020

Kisah Sebatang Pensil

Si anak lelaki memandangi neneknya yang sedang menulis surat, lalu bertanya, “Apakah Nenek sedang menulis cerita tentang kegiatan kita? Apakah cerita ini tentang aku?”
Sang nenek berhenti menulis surat dan berkata kepada cucunya, “Nenek memang sedang menulis tentang dirimu, sebenarnya, tetapi ada yang lebih penting daripada kata – kata yang sedang Nenek tulis, yakni pensil yang Nenek gunakan. Mudah – mudahan kau menjadi seperti pensil ini, kalau kau sudah dewasa nanti.”
Si anak lelaki merasa heran, diamatinya pensil itu, kelihatannya biasa saja.
“Tapi pensil itu sama saja dengan pensil – pensil lain yang pernah kulihat!”
“Itu tergantung bagaimana kau memandang segala sesuatunya. Ada lima pokok yang penting, dan kalau kau berhasil menerapkannya, kau akan senantiasa merasa damai dalam menjalani hidupmu.”
Pertama : Kau sanggup melakukan hal – hal yang besar, tetapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing setiap langkahmu. Kita menyebutnya tangan Tuhan. Dia selalu membimbing kita sesuai dengan kehendak-Nya.
Kedua : Sesekali Nenek mesti berhenti menulis dan meraut pensil ini. Pensil ini akan merasa sakit sedikit, tetapi sesudahnya dia menjadi jauh lebih tajam. Begitu pula denganmu, kau harus belajar menanggung beberapa penderitaan dan kesedihan, sebab penderitaan dan kesedihan akan menjadikanmu orang yang lebih baik.
Ketiga : Pensil ini tidak keberatan kalau kita menggunakan penghapus untuk menghapus kesalahan – kesalahan yang kita buat. Ini berarti, tidak apa – apa kalau kita memperbaiki sesuatu yang pernah kita lakukan. Kita jadi tetap berada di jalan yang benar untuk menuju keadilan.
Keempat : Yang paling penting pada sebatang pensil bukanlah bagian luarnya yang dari kayu, melainkan bahan grafit di dalamnya. Jadi, perhatikan selalu apa yang sedang berlangsung di dalam dirimu.
Dan yang Kelima : Pensil ini selalu meninggalkan bekas. Begitu pula apa yang kau lakukan. Kau harus tahu bahwa segala sesuatu yang kau lakukan dalam hidupmu akan meninggalkan bekas, maka berusahalah untuk menyadari hal tersebut dalam setiap tindakanmu.

Ketulusan Hati Seorang Anak Gelandangan yang Miskin

Roy Angel adalah pendeta miskin yang memiliki kakak seorang milyuner.
Pada tahun 1940, ketika bisnis minyak bumi sedang mengalami puncak, kakaknya menjual padang rumput di Texas pada waktu yang tepat dengan harga yang sangat tinggi.
Seketika itu kakak Roy Angel menjadi kaya raya. Kakak Roy Angel lantas menanam saham pada perusahaan besar dan memperoleh untung yang besar.
Kini dia tinggal di apartemen mewah di New York dan memiliki kantor di Wall Street.
Seminggu sebelum Natal, kakaknya menghadiahi Roy Angel sebuah mobil baru yang mewah dan mengkilap.

Suatu pagi seorang anak gelandangan menatap mobilnya dengan penuh kekaguman.
“Hai.. nak” sapa Roy. Anak itu melihat pada Roy dan bertanya “Apakah ini mobil Tuan?”
“Ya,” jawab Roy singkat.
“Berapa harganya Tuan?”
“Sesungguhnya saya tidak tahu harganya berapa”.
“Mengapa Tuan tidak tahu harganya, bukankan Tuan yang punya mobil ini?” Gelandangan kecil itu bertanya penuh heran.
“Saya tidak tahu karena mobil ini hadiah dari kakak saya”
Mendengar jawaban tersebut mata anak itu melebar dan bergumam, ”Seandainya…. seandainya…” Roy mengira ia tahu persis apa yang didambakan anak kecil itu, “Anak ini pasti berharap memiliki kakak yang sama seperti kakakku”.
Ternyata Roy salah menduga, saat anak itu melanjutkan kata-katanya…
“Seandainya… seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu..”
Dengan masih terheran-heran Roy mengajak anak itu berkeliling dengan mobilnya.
Anak itu tak henti-henti memuji keindahan mobilnya.
Sampai satu kali anak itu berkata, ”Tuan bersediakah Tuan mampir ke rumah saya? Letaknya hanya beberapa blok dari sini”.
Sekali lagi Roy mengira dia tahu apa yang ingin dilakukan anak ini.
“Pasti anak ini ingin memperlihatkan pada teman-temannya bahwa ia telah naik mobil mewah” pikir Roy.
“OK, mengapa tidak”, kata Roy sambil menuju arah rumah anak itu.
Tiba di sudut jalan si anak gelandangan memohon pada Roy untuk berhenti sejenak, “Tuan, bersediakah Tuan menunggu sebentar? Saya akan segera kembali”. Anak itu berlari menuju rumah gubuknya yang sudah reot.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Roy mulai penasaran apa yang dilakukan anak itu dan keluar dari mobilnya, menatap rumah reot itu.
Pada waktu itu ia mendengar suara kaki yang perlahan-lahan. Beberapa saat kemudian anak gelandangan itu keluar sambil menggendong adiknya yang lumpuh.
Setelah tiba di dekat mobil anak gelandangan itu berkata pada adiknya…
“Lihat… seperti yang kakak bilang padamu. Ini mobil terbaru. Kakak Tuan ini menghadiahkannya pada Tuan ini. Suatu saat nanti kakak akan membelikan mobil seperti ini untukmu”.
Seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu.
Berikanlah yang terbaik bagi setiap orang yang kau kasihi selagi engkau bisa, atau kau akan menyesal seumur hidup.

Kisah Haru Pedagang Tempe dan Baktinya pada Ibunda

Kisah inspiratif bisa datang dari siapa saja. Bahkan dari orang kecil pinggiran, justru banyak kisah yang begitu menginspirasi hidup. Ini merupakan salah satunya, sebuah kisah nyata inspiratif dari pedagang tempe yang berbakti pada ibunya.
Sebut saja namanya Budi. Ia merupakan pedagang tempe asal Garut, Jawa Barat. Di kota dodol itulah, ia tinggal bersama istri dan keempat anaknya. Adapun ibunya, tinggal di Kota Bandung dalam kondisi stroke. Budi pun berpikir keras bagaimana caranya ia dapat rutin menjenguk dan merawat ibunya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk berdagang tempe di Kota Bandung.
Setiap hari Senin, Budi berangkat dari Garut ke Bandung dengan mengayuh sepeda. Ya, dengan sepeda! Demi ibunda, ia mengayuh sepeda dari hari Senin dan baru tiba di rumah ibunya di Kota Bandung pada Hari Rabu. Ia tak penat melakukan perjalanan panjang nanmelelahkan itu setiap pekan, selama bertahun-tahun.
Budi memasukkan kedelai dan ragi ke dalam keranjang saat berangkat di hari Senin. Ketika tiba di Rabu pagi, kedelai itu pun telah siap menjadi tempe. Ia selalu menghabiskan waktu bersama ibunya sebelum pergi ke pasar untuk menjual tempenya. Meski berat, Budi rutin melakukannya demi bertemu dengan ibunda.
Hingga suatu hari, cobaan besar datang menguji Budi. Ia harus membayar biaya pendidikan anaknya yang sangat besar. Namun saat hendak mengumpulkan uang, ia mendapati tempenya tak bisa dijual karena belum matang.
Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Tempe Budi selalu matang selama perjalanan Garut-Bandung dengan mengayuh sepeda selama tiga hari. Namun Rabu pagi itu, ketika ia tiba di rumah ibunya, betapa terkejutnya Budi melihat tempenya masih berbentuk kedelai.
Budi benar-benar bingung. Namun ia tetap bertemu dan merawat ibunya seperti hari biasa. Setelah itu, ia pun pergi ke pasar dan membuka lapaknya. “Barangkali nanti tempe ini akan matang,” pikir Budi sembari menutup tempenya.
Namun harapannya sia belaka. Hari makin terik, namun tempenya belum juga matang. Pelanggannya yang datang kecewa dan enggan membeli tempe dagangan Budi. Hingga tengah hari, ketika pasar telah sepi, tak ada satu pun tempenya yang matang dan tentu saja tak ada yang mau membelinya.
Ia punmenutup lapaknya dengan deraian air mata. Terbayang uang sekolah anak-anaknya yang harus ia bayar. Bahkan jika tempe itu terjual semua, Budi tak sanggup melunasinya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan karena semua tempenya tak terjual.
Budi pun menangisi nasibnya ke hadapan Allah. Budi tak pernah absen shalat, membaca Al Qur’an, dan bersedekah setiap harinya. Ia bahkan sangat berbakti pada ibunya hingga rela menempuh jarak yang sangat jauh karenanya. Namun ujian berat tetap menimpanya. Ia pun menangis dan mengadu kesulitannya kepada Rabb Ta’ala. Budi tak tahu, bahwa ada rahasia Allah dibaliknya.
Ketika Budi usaimengadu pada Allah, ia melihat seorang ibu keluar dari mobilnya. Ibu itu memasuki pasar namun tak mendapati apapun karena para pedagang telah pulang. Ibu itu pun menghampiri Budi sembari bertanya, “Pasar sudah tutup, pak?”
“Ya, bu. Ibu mencari apa?” jawab Budi.
“Saya putar-putar cari tempe, tapi tidak ada. Katanya di sini ada pedagang tempe. Masih ada pak?” tanya si ibu.
“Ada, tapi masih mentah,” jawab Budi, sedih.
“Justru itu yang saya cari. Suami saya bekerja di KBRI di Australia. Sabtu besok ada lomba masak di sana. Kalau saya bawa tempe yang belum matang hari ini, tempe itu mungkin pas matang di hari Sabtu.”
Betapa terkejutnya Budi. Kebahagiaan meluncur deras dari hati ke seluruh tubuhnya. Ibu itu pun membeli semua tempe Budi dan memberinya uang Rp 2 juta.
“Kebanyakan, Bu,” ujar Budi dengan jujur.
“Tidak, ini saya sekalian sedekah,” jawab si ibu lalu pergi.
Allahu akbar! Rasa syukur tak terkira dipanjatkan Budi. Ia menjual tempe yang belum matang dengan harga yang bisa digunakannya untuk melunasi biaya pendidikan anak-anaknya. Ternyata, inilah rencana Allah. Seandainya tempe itu matang tepat waktu, Budi hanya melakukan rutinitas biasa dan mendapatkan uang yang biasa pula. Namun karena tempenya baru matang, ia justru mendapat rezeki berlebih yang mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Rezeki yang mengejutkan ini bisa jadi datang karena Budi selalu berbakti kepada ibunya. Sesungguhnya Allah membuka rezeki dengan berbagai jalan, salah satunya dengan berbakti pada orang tua. Budi si pedagang tempe telah membuktikannya.Si anak berbakti mendapatkan rezeki tak disangka-sangka dari Allah Ta’ala.
Kisah ini diambil dari artikel Kompasiana bertajuk “Kisah Tukang Tempe yang Berbakti pada Ibunya” oleh Mohamad Sholihan.Penulis mendapatkan kisah haru nan menyentuh hati itu dari sebuah materi ceramah Ustadz Zainal Muttaqien di Masjid Daruttaqa, Jakarta.
Latar kisah terjadi di tahun 1990-an. Saat ini tak diketahui bagaimana kabar si pedagang tempe. Di mana pun ia berada, semoga Allah selalu menjaganya karena baktinya kepada ibunda.

KISAH SEORANG ANAK YANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA



Dahulu kala ketika ia masih duduk dibangku sekolah dasar, anis sering sekali membantu kedua orang tuanya, bahkan ia mau berjualan es teh manis dan koran di kereta untuk bisa menutupi kebutuhan sekolahnya. Anis sangat penurut dan mau melakukan semua kebajikan. Ia tak lupa mendirikan sholat 5 waktu sehari semalam. Anis merupakan figur anak yang sabar, ia bertekad suatu waktu ia bisa memberangkatkan kedua orang tuanya pergi haji ke tanah suci.
Sejak duduk di bangku SD, Anis merupakan anak laki-laki yang tidak bisa tinggal diam, ia selalu membantu kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Ia juga memiliki cita-cita untuk bisa memiliki sebuah warung kelontong kelak ia sudah dewasa nanti.Ia  memang anak yang sangat pandai namun  karena keterbatasan keuangan orang tuanya, ia hanya bisa lulus sampai bangku sekolah menengah tingkat atas, namun ia sadar itu memang kehendak Tuhan dan ia pun menyadari akan keterbatasan orang tuanya, akhirnya iapun berusaha sekuat tenang untuk bisa membahagiakan orang tuanya.
Sampai pada suatu ketika, ia berhasil meraih sebuah posisi yang sangat bagus disebuah perusahaan, ia pun tidak mau menjadi orang yang sombong, sebab ia pun tahu keberhasilannya yang sudah ia peroleh adalah sebagian besar karena doa dari kedua orang tuanya, dan pada akhirnya iapun bisa memberangkatkan haji kedua orang tuanya dan merasakan sangat bersyukur karena ia bisa menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Hikmah dari cerita anak islami singkat ini adalah janganlah kau sia-siakan orang tua, jika saat ini mereka masih hidup, pelihara, jaga dan rawatlah mereka, sebab merekalah yang merawat kita semenjak kita kecil.



Pada suatu hari saat aku sedang bertugas di sebuah klinik didalam rumah sakit ditempat kota ku tinggal, datanglah pasien yang merupakan seorang wanita yang sudah lanjut usia bersama anak lelakinya yang berumur sekitar 30 tahun itu kedalam klinik tempatku bertugas. Saat saya memperhatikan pasien beserta anak lelakinya tersebut, saya melihat bahwa si anak lelakinya ini memberikan perhatian yang ekstra kepada ibunya ini. Ia memegang tangan ibunya, kemudian ia merapihkan pakaian ibunya dan memberikan ibunya makan serta minum.
Setelah saya berbincang bersama anaknya mengenai  masalah kesehatan ibunya dan saya pun meminta ibunya untuk diperiksa. Setelah di periksa, aku bertanya kepada anak lelakinya mengenaik kondisi akal si ibu yang menurutku agak terlihat dan terasa janggal. Setelah saya bertanya, anak lelakinya itu pun menjawab, “Dia adalah ibuku, dok. Ibuku memiliki penyakit keterbelakangan mental sejak aku dilahirkan.” Ketika mendengar hal tersebut, rasa ingin tahuku pun semakin bertambah. Akupun kembali menanyakan beberapa hal kepada anak lelakinya itu, “Lalu, siapa yang merawatnya selama ini?” Dan anaknya itu langsung menjawab, “Aku yang merawatnya dokter.”
Mendengar hal tersebut aku merasa takjub dan juga terkejut, melihat seorang anak yang sangat berbakti kepada orangtua. Aku pun kembali mengajukan pertanyaan kepada anak itu, “Dan selama ini, siapakah yang memandikan dan mencuci pakaian ibumu?” Kemudian pemuda tersebut pun menjawab, “Aku menyuruh ibuku masuk ke kamar mandi untuk mandi sendiri. Aku menunggunya di luar pintu kamar mandi hingga ibuku selesai mandi. Setelah ia selesai mandi, aku memberikannya baju untuk dipakai. Pakaian kotor bekas ibuku pakai kemudia aku kumpulkan dan aku masukkan kedalam mesin cuci untukku cuci. Aku membelikan pakaian yang ibu butuhkan.”
Setelah mendengar semua itu akupun akhirnya menanyakan hal – hal lainnya lebih dalam tentang ibunya itu, “Mengapa kamu tidak mencarikan pembantu yang bisa mengurus ibumu?” Anaknya tersebut lalu menjawab, “Tidak dokter, pembantu tidak pernah memperhatikannya dengan baik. pembantu juga tidak bisa benar – benar memahaminya. Aku merasa khawatir dengan ibu, jadi aku memutuskan supaya aku yang merawat ibuku langsung. Karena ibuku itu seperti anak kecil. Ia tidak bisa melakukan hal – hal yang biasa dilakukan oleh orang dewasa normal lainnya. Dan akulah yang sangat memahami dan mengerti ibuku. Karena aku sudah mengurus ibuku hampir 20tahun lamanya.”
Mendengar semua itu, rasanya tenggorokan ku sakit. Tak kuat aku menahan haru mendengar kisah dan perlakuannya kepada ibunya itu. Sungguh benar – benar anak yang berbakti kepada orangtua. Akupun kembali mengajukan pertanyaan kepada anaknya itu, “Apakah sekarang kamu sudah menikah?”, “Alhamdulillah dok, saya telah menikah dan juga memiliki dua orang anak” jawabnya kepada ku. Aku pun bertanya lagi, “Berarti selama ini, istrimu juga membantu mu untuk mengurus ibu mu?” Lalu anak itu menjawab, “Iya dok, istriku membantu ku semampunya karena aku juga tidak ingin memaksakannya. Istriku yang memasak dan menyuapi ibu ku untuk makan. Ibuku sangat menyukai masakan istriku, dan ibuku juga sangat senang disuapi oleh istriku. Aku juga telah mendatangkan pembantu untuk membantu pekerjaan lain yang seharusnya istriku lakukan. Namun, aku selalu berusaha supaya aku bisa makan bersama dengan ibuku. Karena aku harus memperhatikan kadar gula yang ibuku makan. Karena, sudah dari dulu ibuku mengidap penyakit Diabetes. Oleh karena itu aku harus selalu memperhatikannya agar ibuku tetap sehat. Aku selalu bersyukur kepada Allah SWT karena aku dikelilingi oleh orang – orang yang menyayangiku dan juga ibuku. Allah SWT memang sangat baik.”
Mendengar semua itu aku semakin takjub dengan anak yang berbakti kepada orangtua ini beserta dengan istrinya. Saat aku memandang ke arah si ibu, aku tak sengaja melihat betapa rapih dan bersihnya kuku si ibu ini. Saat itu aku bertanya kembali kepada si anak, “Lalu siapakah yang memtong kuku ibumu ini? Aku melihat kukunya sangat rapih bersih dan terawat.” Kemudian si anak menjawab, “Aku dokter. Aku melakukannya karena ibuku tidak bisa melakukan apa – apa. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk membuat kukunya bersih.”
Saat kami sedang mengobrol, tiba – tiba sang ibu memandang ke arah anaknya itu dan bertanya kepada anaknya, “Kapan engkau akan membelikan aku kentang? Aku sangat ingin makan ketang. Aku lapar.” Tanya ibu tersebut kepada anaknya. Dan anaknya pun segera menjawab permintaan ibunya itu, “Tenanglah ibu, setelah semua ini selesai kita akan pergi ketempat makanan yang menjual kentang yang ibu inginkan. Ibu jangankhawatir, ya? Aku pasti akan membelikan ibu kentang.” Setelah mendengar hal tersebut ibunya pun terlihat kegirangan bahagia sambil melompat – lompat. Setelah itu, si anak menatap ku dan berkata kepadaku, “Dok, demi Allah… Saat aku melihat ibuku bahagia seperti itu aku sangat bahagia sekali. Bahagianya melebihi ketika aku melihat anak – anakku bahagia. Ibuku adalah orang paling berharga yang melahirkan ku kedunia ini dengan mempertaruhkan nyawanya.”
Akupun merasa iba dan tersentuh mendengar perkataan dari si anak yang berbakti kepada orangtua tersebut. Rasa tangis yang ku tahan ini adalas tangis haruku melihat mereka dan anaknya yang penuh kasih dan sayang itu. Setelah itu, aku pun kembali melihat –lihat berkas rekam medis ibunya tersebut memastikan bahwa semua nya telah aku tuliskan dengan lengkap. Rasa penasaranku pun kembali datang. Aku bertanya lagi kepada anak itu, “Apakah kamu memiliki kakak atau adik?”, “Tidak. Aku tidak memiliki kakak maupun adik, aku adalah putra semata wayang. Ibu ku diceraikan ayahku sebulan setelah mereka menikah. Hingga sekarang akupun tidak tahu siapa ayahku yang sebenarnya.” “Jadi selama ini kamu di rawat oleh ayahmu?”, tanyaku lagi kepadanya. Ia pun menjawab, “Tidak. Selama ini aku dirawat oleh nenekku. Dan nenekku juga yang merawat ibuku ketika aku masih kecil dulu. Namun nenek telah meninggal. Tapi aku yakin Allah SWT telah bersaama nenek di surga, karena kebaikan nenek yang tak terhingga. Nenek meninggal saat usiaku 10 tahun.”
Dan ketikaaku bertanya apakah ibunya merawatnya ketika ia sakit, iapun menjawabt tidak. Karena memang ibunya benar – benar tidak bisa melakukan dan tidak mengerti apapun. Setelah itu, aku menulis resep obat untuk ibunya itu. akupun menjelaskan tentang obat dan cara penggunaan obat tersebut. Setelah aku selesai menjelaskan semuanya, si anak tadi kemudian memegang tangan ibunya tersebut sambil tersenyum dan berkata kepadanya, “Mari ibu, sekarang kita sudah selesai. Ayo kita pergi untuk membeli kentang yang ibu inginkan itu. Terimakasih juga aku ucapkan karena ibu telah mau sabar menunggu.” Namun tak diduga ibunya malah menjawab seperti ini, “Tidaaakk.. Aku sudah tidak menginginkan kentang. Sekarang aku inginnya pergi ke Mekkah. Ayo kita ke Mekkah”. Akupun heran dengan jawaban ibunya itu, dan aku bertanya kepada ibunya itu, “Mengapa ibu ingin pergi ke Mekkah? Apa yang membuat ibu ingin pergi kesana?” Lalu ibunya itupun menjawab pertanyaanku dengan riang gembira, “Supaya aku bisa terbang di udara. Supaya aku bisa menaiki pesawat. Aku ingin naik pesawat. Ayo kita pergi ke Mekkah.” Mendengar hal tersebut, akupun kembali bertanya kepada anaknya itu, “Apakah kamu benar – benar akan membawa ibumu ke Mekkah?” Lalu anaknya itupun menjawab, “Iya, tentu saja aku akan membawanya. Aku akan mengusahakannya supaya ibuku bisa pergi kesana akhir bulan ini.”
Akupun mengatakan bahwa sebenarnya dalam agama tidak ada kewajiban umrah bagi ibuya dan aku bertanya mengapa ia tetap akan membawa ibunya tersebut untuk umrah. Anaknya itupun menjawab pernyataan dan pertanyaanku sambil tersenyum, “Memang tidak diwajibkan. Namun mungkin kebahagiaan yang aku rasakan ketika aku membawa ibuku pergi ke Mekkah merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagi hidupku. Dan mungkin itu juga akan membuat pahala ku lebih besar daripada aku umrah dengan tidak membawa ibuku bersama ku.” Setelah menjawab pertanyaan terkahir dari ku anak itu pun berterimakasih kepadaku dan kemudian ia bersama ibunya bergegas meninggalkan klinik tempat ku praktik. Setelah itu, aku meminta kepada perawatku untuk meninggalkan ku sendiri diruangan dengan alasan karena aku lelah dan aku ingin beristirahat. Namun sebenarnya itu hanyalah alasanku saja, karena aku tak ingin perawat melihatku menangis. Perawat pun akhirnya meninggalkan ku sendiri diruangan. Saat perawat itu pergi, tak kuasa aku menahan airmata ku. Ketika itu pipiku terasa basah di banjiri oleh air mata haruku melihat seorang anak yang sungguh – sungguh berbakti kepada orangtua itu. Akupun menangis sejadi  – jadinya aku mengeluarkan seluruh perasaan yang ku rasakan didalam hatiku ini. Aku pun berkata kepada diriku sendiri, “Begitu berbakti kepada orangtua anak itu. Ia sangat berbakti kepada ibunya, ibunya yang tidak pernah sepenuhnya menjadi ibu yang sesungguhnya seperti ibu – ibu normal lainnya. Namun kasih sayang yang dimiliki aka itu untuk ibunya sungguh tidak terbatas. Sungguh benar – benar anak yang sangat berbakti kepada orangtua. Semoga Allah SWT selalu memberikan anak yang berbakti kepada orangtua tersebut kesehatan, rezeki, serta kebahagiaan agar anak yang berbakti kepada orang tua tersebut bisa memberikan semua yang ia miliki kepada ibunya itu.”
Ibunya yang mengandung dan melihairkan anak itu, namun tak pernah sekalipun ibunya itu merawatnya, menggendongnya dengan enuh kasih sayang, mengurusnya ketika ia sakit, mengajarinya membaca menuulis, berjalan, menghitung, berbicara, dan tidak pernah melakukan hal yang seharusnya seorang ibu lakukan kepada anaknya. Namun anaknya itu adalah sebuah anugrah yang paling berharga yang ibu nya lahir kan kedunia ini. Pemberian luar biasa dari Allah SWT kepada sang ibu yang memiliki keterbelakangan mental seperti itu.



Rumah itu di selimuti kesedihan, seorang pemuda yang terkenal sholeh dan berbakti kepada ibunya tengah terbaring di atas kasur. Ia tengah meregang nyawa menjelang kematiannya. Pemuda tersebut masih pada usia emasnya, belum genap 30 tahun menjalani hidup di dunia.
Dalam haru dan tegang tersebut, tiba-tiba saja pemuda tersebut mengucapkan kata-kata yang sungguh menakjubkan, sungguh sangat menakjubkan. Keluarga dan tetangga yang mengelilingi di dekatnya bingung, ada apa dengan pemuda tersebut?
“Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Aku harus izin dulu kepada ibuku”, demikian ucapan pemuda tersebut berulang-ulang.
Di tengah kebingunan keluarga dan orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut, salah seorang diantaranya bergegas memanggil Ibu sang pemuda tersebut. Ibunya berada dalam kamar berbeda karena tak kuasa melihat putra kesayangannya menghadapi sakaratul maut. Anak emas yang sangat patuh dan mencintainya tersebut, menjelang ajalnya yang semakin dekat.
“Lihatlah anakmu, ia terus-menerus mengucapkan kalimat-kalimat yang aneh !!“, teriak salah satu orang sambil mengajak sang Ibu untuk menuju kamar anaknya. Tak berpikir lama, sang ibu langsung menghampiri kamar anaknya.
Di dalam kamar, tampak sang pemuda mulai mengeluarkan buliran keringat yang berkilau terkena cahaya lampu bak mutiara. Buliran keringat di dahi tersebut, menurut Syaikh Muhammad Hassan  adalah sebagian dari tanda-tanda Husnul Khotimah.
Sang Ibu mendekati putra kesayangannya tersebut dan mulai mendengarkan kata-kata yang terus di ulang-ulang oleh buah hatinya tersebut.
“Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Aku harus izin dulu kepada ibuku”, sang pemuda terus mengulang-ulang kalimat tersebut.
Sang Ibu pun mulai memeluk dan membelai anak emasnya tersebut seraya berkata,
“Wahai anaku, ini aku, ibumu. Wahai anaku, aku ibumu, Nak. Aku ibumu, anakku. Dengan siapa kau bicara ?”
Dan dalam waktu yang sempit tersebut, sang pemuda bercerita dengan napas yang tersengal-sengal,
“Wahai ibuku, seorang gadis sangat cantik jelita, Ibu. Belum pernah aku melihat gadis secantik itu. Ia datang kemari. Sungguh aku melihatnya persis di hadapanku. Ia datang melamarku untuk dirinya, Ibu. Aku bilang kepadanya, tidak. Aku tidak bisa sampai aku minta izin dulu kepada ibuku”
Sang ibu menangis sejadi-jadinya, keharuannya memuncak, kerinduannya pada harapan untuk melihat sang buah hati menikah membuatnya semakin dalam dalam kesedihan. Namun sang ibu berusaha tegar dan segera menyadari dengan siapa putranya yang sangat berbakti  tersebut berbicara.
“Aku izinkan, anakku. Sungguh, dia adalah hurriyatun (bidadari) dari surga untukmu. Aku sudah izinkan, Nak“, demikian tutur sang ibu dalam uraian mata yang deras mengalir.
Tak lama kemudian, sang pemuda sholeh yang patuh tersebut, meninggal dunia dalam pelukan sang ibu.





Mentari besinar diufuk barat petanda telah terbentang semua harapan yang ingin di capai,membentuk sebuah bola kehidupan dan kebahagiaan, Di sebuah desa terpencil,tinggallah seseorang anak yang berusia 10 tahun yang bernama andi dengan ibunya yang sudah tua,sehari-hari hanya membantu  ibunya bekerja sebagai pembuat tempe,ayah andi meninggal sejak andi berusia 5 tahun.
kepergian ayahnya sungguh membuat mereka semakin terpuruk perekonomiannya, Saat subuh menjelang, suara ayam berkokok mereka sudah mulai bekerja sebagai pembuat tempe,penghasilan mereka hanya bisa menghidupi makan sehari-hari itupun bila ada rejeki,tpi andi tidak seperti temen lainnya yang menghabiskan waktu hanya untuk bermain,ia lebihh suka bekerja membantu ibunya,   Meskipun banyak temen menghinannya ia tak hiraukan,anggap mereka sebagai angin berlalu karena dia sadar kalu bukan sekarang kapan lagi,sesekali ia merenung,karena ia ingin sekali bersekolah seperti yang lainnya,ia tak berani untuk berkata pada ibunya,tApi apalah daya dia sadar bagaimana perekonomiannya sehari-hari,tetapi dia tetap bersyukur atas rezky yang ia dapatkan bersama ibunya,walapun tak seberapa,ia tak ingin membuat ibunya lebih susah lagi karena dia,
 Suatu ketika ibunya bertanya"mengapa kamu tak mau sekolah nak?" "saya mau bantu ibu saja" jawab andi, ibunya hanya terdiam melihat anakny yang sungguh peduli dan sayang pada dirinya kemana ia pergi dialah yang selalu membantu,ia tak mau kehilangan orang yang satu-satunya harta ia miliki meninggalkannya.
Pada suatu hari ibunya jatuh sakit tidak bisa berjalan hanya bisa berbaring ditempat tidur,andi merasa sangat sedih karena tidak mau kehilanggannya, setiap shalat ia selalu berdoa kepada tuhan agar cepat disembuhkan ia tak mau kehilangan orang yang paling berharga di dunia lagi,karena mereka satu-satunya yang dia miliki,  Tapi tuhan berkehendak lain takdir tidak bisa dihindari,ibu yang sudah tua telah diambil nyawanya pada yang maha kuasa,ia sangat terpukul atas kepergian ibunya, hingga pada akhirnya ada seseorang yang ingin merawat andi dari keluarga kaya,tpi ia menolaknya,ia masih blum bisa melupakan kepergian ibunya,
Namun akhirnya ia mau dirawat oleh saudagar kaya dan baik itu,karna ia tak punya siapa-siapa lagi,akan tetapi ia masih ingat akan pesan ibunya untuk menjalani hidup.




Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban setiap anak, seperti kisah dongeng berikut. Halimah namanya, ia adalah seorang anak sangat sayang dan berbakti kepada orang tuanya. Sang ayah telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya semenjak ia masih di dalam kandungan. Kini ia hanya hidup berdua dengan ibunya di rumah yang sangat sederhana sekali.
Halimah duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Sebelum berangkat sekolah, Halimah selalu membantu ibunya mencuci pakaian, mencucui piring, bahkan membuat pisang goreng untuk dijual esok hari. Saat halimah berangkat sekolah, ia juga membawa pisang goreng untuk dititipkan ke kantin sekola. Halimah termasuk anak yang pintar, ia selalu mendapat rangking pertama di kelasnya.
“Halimah, nanti habis jualan sepulang sekolah, tolong antar pisang goreng ini ke tempat Bu Marni” suruh ibu.
“Iya bu” jawab Halimah.
Itulah yang dikerjakan Halimah sepulang sekolah, ia membantu ibunya jualan pisang goreng keliling kampung sekitar. Halimah tak pernah malu melakukan ini, karena membahagiakan sang ibu adalah cita-cita utamanya.
“Nak, Ibu bersyukur sekalu memiliki anak seperti kamu. ini adalah anugrah yang Allah berikan kepada Ibu” bisik sang Ibu.
“Halimah juga bersyukur sekali menjadi anak ibu. Halimah selalu berterima kasih kepada Allah dan berdoa untuk Ibu” jawab Halimah.
Dengan berlinang air mata, Halimah memeluk Ibu erat-erat. Lalu Halimah berbisik kepada ibunya.
“Ibu, suatu saat Halimah ingin sekali memberangkatkan ibu ke tanah suci” bisik Halimah.
“Ibu sangat terharu nak, semoga Allah mengabulkan apa yang kamu cita-citakan” jawab ibu.
Sungguh besar bakti Halimah kepada ibunya, setiap sholat 5 waktu, Halimah tak lupa berdoa semoga cita-cita yang sangat mulia itu terkabul.
Tak terasa berjalan begitu cepat, 10 tahun sudah berlalu. Kini Halimah menjadi seorang wanita yang cukup sukses, ia merintis pisang goreng ibunya dengan sabar dan telaten, hingga sekarang ia berhasil mengembangkan usaha pisang goreng ibunya dan mempunyai beberapa cabang warung pisang goreng di daerahnya.
Ketika Halimah menjadi orang sukses, ia tetap rendah hati dan tak lupa membantu fakir miskin dan tetangga yang membutuhkan. Akhirnya, apa yang di cita-citakan Halimah dikabulkan oleh Allah SWT. Ia dan ibunya berangkat ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji.
Dari dongeng kisah teladan Islami ini kita bisa mengambil hikmahnya.
Berbaktilah kepada orang tuamu, janganlah kau menyia-nyiakan mereka. Orang tua adalah orang yang tetap ada disisimu disaat orang lain meninggalkanmu. Ketika anak-anak memiliki waktu untuk memikirkan orang tuanya, kebanyakn pada saat itu, orang tua mereka sudah tak ada lagi di dunia ini.

Di Jepang dulu pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya. Pada suatu hari ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya ke hutan, karena si Ibu telah lumpuh dan agak pikun. Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui. Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan Ibu tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap Ibunya.
Justru si Ibu yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata: “Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa Ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikitpun. Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah” Setelah mendengar kata-kata tersebut, si anak menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si Ibu pulang ke rumah. Pemuda tersebut akhirnya merawat Ibu yang sangat mengasihinya sampai Ibunya meninggal.
‘Orang tua’ bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena pada saat engkau sukses atau saat engkau dalam keadaan susah, hanya ‘orang tua’ yang mengerti kita dan batinnya akan menderita kalau kita susah. ‘Orang tua’ kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita, walaupun kita pernah kurang ajar kepada orang tua. Namun Bapak dan Ibu kita akan tetap mengasihi kita.
Mari kita merenungkan, apa yang telah kita berikan untuk orang tua kita, nilai berapapun itu pasti dan pasti tidak akan sebanding dengan pengorbanan ayah ibu kita. Muliakan ia selagi masih hidup, dan doakan jika telah tiada. Pengusaha baja/Pemilik PT. Artha Mas Graha Andalan.  Ketika ditanya rahasia suksesnya menjadi Pengusaha, jawabnya singkat:
“Jadikan orang tuamu Raja, maka rezeki mu seperti Raja”.  Pengusaha yang kini tinggal di Cikarang ini pun bercerita bahwa orang hebat dan sukses yang ia kenal semuanya memperlakukan orang tuanya seperti Raja. Mereka menghormati, memuliakan, melayani dan memprioritaskan orang tuanya.  Lelaki asal Banyuwangi ini bertutur, “Jangan perlakukan Orang tua seperti Pembantu". 
Orang tua sudah melahirkan dan membesarkan kita, lha kok masih tega-teganya kita minta harta ke mereka, pada hal kita sudah dewasa. Atau orang tua diminta merawat anak kita sementara kita sibuk bekerja. Bila ini yang terjadi maka rezeki orang itu adalah rezeki pembantu, karena ia memperlakukan orang tuanya seperti pembantu. Walau suami/istri bekerja, rezekinya tetap kurang bahkan nombok setiap bulannya. Menurut sebuah lembaga survey yang mengambil sampel pada 700 keluarga di Jepang, anak-anak yang sukses adalah : mereka yang memperlakukan dan melayani orang tuanya seperti seorang Kaisar. Dan anak-anak yang sengsara hidupnya adalah mereka yang sibuk dengan urusan dirinya sendiri dan kurang perduli pada orang tuanya. Tapi juga JANGAN mendekati orang tua hanya untuk mendapatkan hartanya.
Mari terus berusaha keras agar kita bisa memperlakukan orang tua seperti raja. Buktikan dan jangan hanya ada di angan-angan. Beruntunglah bagi yang masih memiliki orang tua, masih BELUM TERLAMBAT untuk berbakti. Sebelum mereka kembali keharibaan Allah. UANG bisa dicari, ilmu bisa di gali, tapi kesempatan untuk mengasihi orang tua kita takkan terulang kembali.